Terkadang kita perlu mengasingkan diri
Tidak.. Tak perlu jauh ke belahan bumi lain
Cukup mengunci pintu
Mengunci suara
Dan biarkan sunyi berkuasa
Lalu bangunlah kala malam sdg bercinta dg bulan
Putar kenop pintu ketika semua mata telah beradu semestinya
Seduhlah kopi utk dirimu sendiri
Tidak.. Tak perlu gula dan sendok takarnya
Ah..
Tak perlu pemanis utk sesuatu yg dikodratkan pahit
Teguklah meski pahit merajai
Resapi seakan kau telah berpuasa sejak jauh hari
Kelak kau kan mengerti
Maksud kehangatan di tiap tetes kopi
Sabtu, 18 April 2015
Jumat, 02 Januari 2015
Lydia
Pagi
itu langit mendung, cuaca di penghujung tahun sering sekali seperti ini;
lembab, angin kencang, tak jarang disertai hujan deras hingga berjam-jam.
Sehabis
sarapan Lydia duduk di hadapan komputer portabel miliknya. Tampak konsentrasi
membaca daftar harga tiket pesawat. Mungkin ini saatnya bagiku untuk
memberitahukan perubahan rencana kami.
“Dek,
aku sama sekali belum melakukan persiapan untuk pertemuan dengan perusahaan
Singapur itu. Kalau kita berangkat pagi tanggal 28, tak akan sempat untuk
mengecek kelengkapan di sana. Pertemuannya pukul 11 siang.” Kataku hati-hati.
“Jadi?”
tanyanya langsung. Konsentrasinya seketika terusik. Ia menatap tajam mataku. Ia
tahu betul aku sedang mengacaukan rencana yang telah ia susun jauh-jauh hari.
Seperti
biasa, aku selalu kikuk jika ditatap tajam dengan matanya yang bulat besar itu.
Aku menghirup kopi hitam yang sedari tadi kupegang. Menyusun kata-kata
penjelasan berikutnya.
“Kupikir
alangkah baiknya aku berangkat sehari sebelum pertemuan. Aku hanya takut kurang
persiapan, dek. Pertemuan besar ini menentukan masa depanku.” Lydia membetulkan
posisi duduknya. Aku diam sejenak lalu menekankan, “masa depan kita.”
“Maksudmu
kita berangkat tanggal 27? Kamu ‘kan tahu aku ada acara keluarga yang harus
kuhadiri.” Ia menghela nafas. “Yang seharusnya juga kamu hadiri.Tapi apa boleh
buat, kamu tak pernah perduli pada keluargaku.”
Lydia
tak menatapku lagi. Dipalingkannya wajahnya yang tirus ke arah jendela kamar
kami yang besar. Menatap kosong gedung apartemen sebelah.
“Hei,
kenapa topiknya sampai ke sana? Bukan begitu maksudku. Biarlah aku yang
berangkat sendiri tanggal 27, aku akan menunggumu di Singapur. Kamu bisa berangkat
pagi tanggal 28, seperti rencana kita sebelumnya.”
Lydia
membuang nafas kencang. Menatap layar laptopnya lagi.
Ia
selalu begitu. Rasa kesal mudah sekali merajainya meski karena hal-hal sepele.
Tapi walaupun begitu, tak pernah sekalipun ia mengingkari keputusanku, apapun
itu.
Aku
meremas pundaknya dengan lembut, “aku akan menjemputmu di bandara.” Ia diam
saja.
Hari
keberangkatanku tiba. Pagi-pagi sekali Lydia sudah pamit pergi ke rumah
orangtuanya. Ia tak mengantarku ke bandara hari ini. Tadi malam ia masih
terlihat kesal saat aku mengangsurkan beberapa pakaian ke dalam koper.
Pesawatku
akan lepas landas pukul sepuluh pagi. Sekarang masih jam sembilan, aku sudah
duduk menumpang sebuah taksi menuju Bandara Djuanda.
Lydia
tahu jadwal keberangkatanku, tapi ia tetap tak menghubungiku sampai aku sudah
memasuki pesawat.
Aku
mendapat posisi yang bagus, tepat di samping jendela. Posisi yang sangat
disukai Lydia. Aku menatap kesibukan para pengangkut barang yang berseragam
biru. Seketika muncul rasa sedih di hatiku. Selain mengurus pekerjaan, aku dan
Lydia akan berlibur menghabiskan akhir tahun di Singapur. Lydia selalu menantikan
liburan-liburan seperti ini. Tak seharusnya aku mengacaukan suasana hatinya.
Pengumuman
bahwa pesawat akan lepas landas dilancarkan melalui pengeras suara. Seluruh
penumpang memasang safety belt, seorang
pramugari memeriksa sabuk pengaman kami.
Lalu
seperti biasa, dua orang pramugari cantik memperagakan alat-alat yang akan
digunakan dalam keadaan darurat. Aku tidak terlalu memerhatikan, pikiranku
masih dipenuhi wajah kesal Lydia.
Seluruh
penumpang sekali lagi diperintahkan untuk mematikan jaringan ponsel. Aku sadar
belum mengaktifkan mode pesawat di ponselku. Sebelum mengaktifkannya, aku
sempatkan mengetik pesan untuk Lydia, “Sampai
jumpa, sayang.”
Penerbanganku
berlangsung lancar. Pukul sebelas lewat tigapuluh pagi pesawat mendarat dengan
sempurna. Aku langsung menuju hotel langganan. Memesan satu kamar lalu berniat
untuk sedikit beristirahat.
Aku
menghidupkan jaringan ponselku. Seketika beberapa pesan masuk, salah satunya
dari Lydia. Ia menjawab dengan pelit sekali, hanya “ya”. Itu saja. Jelas sekali ia masih kesal.
Hari
ini sibuk sekali. Aku berangkat ke kantor perwakilan di Singapur dan menemukan
banyaknya kekurangan kelengkapan. Bersyukur sekali aku datang sehari sebelum
pertemuan. Nyatanya banyak yang harus kukerjakan di sini.
Tak
terasa aku berkutat di kantor hingga malam. Aku kembali ke hotel pukul tujuh
dan langsung makan malam di restoran hotel. Kembali kulihat layar ponselku.
Lydia tetap saja membisu.
Aku
tak berniat menghubunginya. Apapun yang kulakukan takkan berguna. Wanitaku itu
sangat keras kepala. Biarlah rasa kesalnya itu kubayar nanti saat ia tiba di
sini. Aku berjanji akan mengajaknya berkeliling negara sempit ini.
Membelikannya barang apa saja yang ia suka.
Usai
makan malam dan mandi, aku langsung tertidur karena kelelahan. Pesawat yang
membawa Lydia akan mendarat pukul enam pagi menurut jadwal. Aku harus bangun
pagi-pagi sekali demi menjemputnya besok.
Sial.
Aku lupa menghidupkan alarm. Aku terbangun pukul enam lewat duapuluh. Lydia
mungkin masih mengurus bagasi di bandara. Aku harus bergegas kalau tak mau
melihatnya tambah kesal.
Kuhidupkan
ponselku, mungkin saja Lydia sudah menghubungiku. Ada satu pesan darinya,
tampaknya dikirim sebelum pesawatnya lepas landas, pukul empat lewat sepuluh
menit. Isinya terdengar lucu, “Sampai jumpa,
sayang. Selamanya.”
Aku
tertawa sinis membacanya. Apa maksud kata selamanya? Seperti remaja yang ingin
memutuskan hubungan saja.
Sekarang
aku jadi sedikit kesal juga. Apa Lydia masih belum mengerti keputusanku?
Bisa-bisanya ia kesal sampai berkata begitu. Bayangkan kalau aku tak melakukan
persiapan kemarin, pertemuan hari ini akan berlangsung kacau. Semua ini toh
demi dia juga. Demi keluarga kecil kami juga.
Aku
menekan tombol yang berderet di dinding dekat tempat tidur. Maksudku ingin
mematikan mesin pendingin, tapi malah tertekan tombol televisi. Seketika suara
dari televisi yang diatur terlalu keras memenuhi ruangan. Berita yang
disampaikan dalam bahasa inggris dari saluran tv Singapur itu melemaskan
lututku.
Pesawat yang ditumpangi istriku,
hilang.
Aku
terduduk lemah di kasur. Seluruh tubuhku sekaan tak bernyawa. Tulang-tulangku
seperti tak berada di tempat yang semestinya.
Kembali
berkelebat dalam ingatanku wajah Lydia. Mulai dari beberapa bulan lalu, saat ia
mengusulkan rencana liburan di Singapur. Lalu saat hari aku mengacaukan
rencananya. Lalu saat malam aku menyusun pakaian. Kemudian pertemuan terakhir
kami di kamar apartemen. Ia memalingkan wajahnya saat aku ingin mengecup
pipinya. Dan yang terakhir, pesan singkatnya tadi pagi.
Oh
Tuhan..
Seketika
pikiran-pikiran buruk menguasaiku. Ponselku berdering, Ibu Lydia berusaha
menghubungiku. Sungguh, rasanya seperti mimpi. Tak mungkin.. Ini semua tak
mungkin.
Hingga
empat hari kemudian, jenazah wanitaku itu tak kunjung ditemukan. Aku
membatalkan pertemuan penting di Singapur dan langsung kembali ke Surabaya.
Kali ini, tak ada yang lebih penting dibandingkan Lydia.
Aku
menyesal Lydia. Aku sungguh menyesal.
Aku
sungguh berharap Tuhan mau berbaik hati. Memberikanku kesempatan untuk kembali,
aku ingin berada di sampingnya. Mengakhiri hidup dalam pelukannya.
Aku
betul-betul egois Lydia. Sungguh, ku akui itu.
Aku
selalu mengedepankan segala pekerjaan. Kupikir pekerjaan inilah masa depanku.
Tapi baru hari ini kusadari, masa depanku kini telah mati. Terkubur bersama
bangkai pesawat Air Asia QZ 8501 entah di belahan bumi bagian mana.
Minggu, 28 Desember 2014
Kenapa
mengapa kita berlomba-lomba melangkahkan kaki menjauh ketika jarak kita tinggal selangkah untuk bersatu?
mengapa kita memaksa diri utk melupakan ketika semua tempat yg kita jejaki tertempel kenangan?
mengapa kita rela menahan sakit membunuh hati ketika kita bisa terbang membebaskan rasa?
mengapa kita seolah jemu pd diri masing-masing ketika jauh di dasar hati kita masih saling membutuhkan?
tak bisakah kita memperlurus keadaan?
tak bisakah kita menjernihkan pikiran?
tak bisakah kita berdiri sebentar, menghirup nafas panjang lalu menengok ke belakang?
sungguh sudah begitu jauh kisah kita tertinggal
tapi mengapa gaungnya kian rusuh bergemerisik memenuhi rongga kehidupan?
Jumat, 19 Desember 2014
Rindu
ketika malam kian larut di ujung hari
'tik' suara hentakan pada tombol televisi
sinema yang hadir kali ini kuhentikan
entah kenapa rasanya ada yang tak beres
lalu gelisah itu datang pula
detak jantung kian berpacu dengan gemuruh di luar sana
dum dum
tak tak
ah ntahlah tak kuhiraukan jua
cemas datang berderap
hening bergemuruh benamkan logika
nyanyian waktu berdesing nyaring
aku seperti dipacu
aku seakan diburu
ingin kuteriakkan namamu
tapi getarnya tertelan kebisuan jiwa
titik hujan mulai turun
satu-satu seperti malu-malu
ah mengapa harus takut?
pengganti bisa lebih dari yang asli
ah tolooong akuuuu
kerjap-kerjap mata menyapu sisi ruang sempit
satu lagi, kekosongan bawa pertanda
aku..
rindu padamu
Jumat, 30 Mei 2014
22:43
Pernahkah kau merasa hari yang kau jalani begitu gelap?
Seakan tak ada satupun cahaya yang mampu mengalahkan hitamnya
Ketika kau terbaring mengenang kisah-kisah lama
Betapa kau merindukan tiap sudut kegembiraan yang pernah kau rasa
Sadarkah kau bahwa telah kau temukan cinta pada sebuah kesalahan?
Kau yakin di awalnya tapi menangis di akhirnya
Ketika manis coklat batang sudah kadaluwarsa
Ketika senar-senar gitar tak lagi berirama
Pernahkah kau merasa sedih yang begitu dalam?
Ketika kau ingin menangis tapi airmatamu sudah kering
Tak ada pengharapan atau penghiburan yang layak
Tak ada percikan atau sentuhan yang cukup
Pernahkah kau berharap begitu jauh sampai kau berani mempertaruhkan seluruh hidupmu?
Kau berharap kemarin tetap menjadi hari ini dan akan menjadi esok
Kau meratap memohon pada bintang di malammu yang kelam
Tanpa kau sadari yang lalu tetaplah berlalu
Dan akan selamanya begitu
Seakan tak ada satupun cahaya yang mampu mengalahkan hitamnya
Ketika kau terbaring mengenang kisah-kisah lama
Betapa kau merindukan tiap sudut kegembiraan yang pernah kau rasa
Sadarkah kau bahwa telah kau temukan cinta pada sebuah kesalahan?
Kau yakin di awalnya tapi menangis di akhirnya
Ketika manis coklat batang sudah kadaluwarsa
Ketika senar-senar gitar tak lagi berirama
Pernahkah kau merasa sedih yang begitu dalam?
Ketika kau ingin menangis tapi airmatamu sudah kering
Tak ada pengharapan atau penghiburan yang layak
Tak ada percikan atau sentuhan yang cukup
Pernahkah kau berharap begitu jauh sampai kau berani mempertaruhkan seluruh hidupmu?
Kau berharap kemarin tetap menjadi hari ini dan akan menjadi esok
Kau meratap memohon pada bintang di malammu yang kelam
Tanpa kau sadari yang lalu tetaplah berlalu
Dan akan selamanya begitu
Kamis, 06 Juni 2013
SEBUAH PERSILANGAN
Pernahkah kita berpikir bagaimana cara takdir bekerja?
Saat suatu ketika kita tak sengaja bertemu orang asing. Mungkin saat itu kita mengira bahwa orang tersebut hanyalah 1 dari sekian ribu orang yang tak sengaja kita temukan.
Mungkin kita tertarik untuk berbincang, tanpa kita sadari bahwa takdir kita sedang bersilangan.
Lalu muncullah sebuah ketertarikan. Pertemuan yang serba kebetulan tiba-tiba saja menciptakan sensasi-sensasi baru, ekspektasi-ekspektasi baru. Sedikit demi sedikit kehidupan kita menyatu, tanpa kita sadari bahwa takdir sedang berusaha menjebak kita.
Ketika masanya datang, maka terjebaklah sudah. Aku, kau, tiba-tiba saja saling bergantung satu sama lain. Tiba-tiba saja saling terikat satu sama lain.
Di suatu waktu kita seakan memiliki banyak petunjuk. Seakan memiliki teropong yang mampu melihat masa setahun ke depan, 2 tahun ke depan, puluhan tahun ke depan. Lalu terbanglah sudah. Perasaan melambung jauh terbuai janji-janji.
Mungkin terlalu bodoh. Terlalu dini untuk mempercayai bahwa visi di hati selalu sama dengan apa yang terjadi.
Nyatanya takdir mempermainkan kita.
Dijebloskannya kita jauh ke dasar surga kehidupan. Tak peduli hina, tak peduli dosa.
Bukankah cukup pelajaran yang kita emban tentang arti benar dan salah? Atau mungkin takdir merasa kita hanya butuh arti pengalaman?
Lalu ketika sudah jatuh, tertimbunlah pula. Kita sadar bahwa takdir telah menyeret kita. Kebijaksanaanmu lah yang membuat kita lepas. Mungkin kau memang mencintai, tapi cinta tak cukup kuat mengalahkan takdir.
Dan persis di persimpangan tempat takdir kita pernah bertemu dan bersilang, kau ulur talinya dan kau hentakkan.
Sekali lagi, takdir kembali, memaksa kita menjadi orang asing lagi.
Dan semuanya; pertemuan, perkenalan hingga jalinan takdir yang lalu hanya menjadi fragmen-fragmen kenangan, terbungkus sebuah kehidupan.
Kamis, 11 Oktober 2012
SAUDARA KEMBAR
SAUDARA KEMBAR
Hari
ini adalah hari pertama bagi mereka duduk di bangku SMA. Refi dan Rafi
beruntung karena dapat lulus ke sekolah ini. Sekolah yang mereka dambakan sejak
dulu. Tapi Refi tetap saja tak bisa tersenyum. Ia muak harus satu sekolah lagi dengan
Rafi, abangnya yang dua menit lebih tua darinya.
Refi
takut kejadian-kejadian sebelumnya akan terulang lagi. Dimana Rafi dielu-elukan
di sekolah. Dan dia hanya terlihat sebagai benalu yang numpang hidup. Numpang
beken. Secara fisik, mereka terlihat nyaris sama. Tapi secara sifat, kemampuan
berpikir, dan sebagainya, Refi jelas tak bisa bersaing dengan saudara kembarnya
itu.
Sebenarnya
Refi sangat berharap bisa berbeda sekolah dengan Rafi. Agar dia bisa kreatif
sendiri, tanpa ada bayang-bayang Rafi yang terkenal. “Refi, kamu harus satu
sekolah sama abang kamu. Kalau tidak, nanti siapa yang menjagamu di sekolah?”
Ujar Mama beberapa hari silam. Saat mendengar itu, rasanya Refi ingin
membanting sendok yang sedang Ia genggam. Refi muak dengan situasi seperti ini.
Sekarang
Refi hanya berharap, bahwa Rafi takkan seterkenal dulu. Tidak sepintar dulu.
Tapi
ternyata, seminggu kemudian, harapan itu mulai musnah. Hanya dalam hitungan
hari, nama Rafi mulai dikenal di penjuru sekolah. Karena kemampuannya dalam
bidang fisika. Karena kelincahannya dalam memainkan bola basket. Karena
ketampanannya. Karena gaya berbusananya yang menarik. Dan lain-lain! Hal ini
membuat Refi semakin membenci Rafi. Menurutnya, Rafi seakan tak memberikan Ia
sedikitpun ruang untuk bisa setara dengannya.
“Lo
kok nggak ngerjain pr mtk sih, tadi?” Tanya Rafi di suatu malam.
“Kenapa?
Lo senang kan, gue dimarahin di depan kelas?” Tanya Refi balik.
“Lo
kok sinis gitu, sih? Kalau lo gak ngerti pr nya, lo kan bisa bilang ke gue,
biar kita kerjain bareng.”
Refi
hanya mendengus kesal. Lalu beranjak menuju tempat tidur. Mematikan lampu, dan
mencoba tidur secepatnya.
Hari
ini agak berbeda. Refi bertemu dengan anak kelas sebelah yang bernama Stefani.
Anaknya cantik dan ramah. Semenjak kehadiran Stefani, Refi tak terlalu
menghiraukan kakaknya itu. Ia hanya terus berusaha mendekati Stefani. “Fan,
besok kan libur. Lo mau gak, nemenin gue ke toko kaset?”
“Boleh,
aku juga mau lihat-lihat. Kita ketemu di toko kasetnya aja ya, Ref?” Jawab
Stefani. Mendengar jawaban tersebut, Refi langsung tersenyum lebar. Ia tak
menyangka Stefani akan menerima ajakannya. Refi pikir, Stefani sama dengan
cewek-cewek lain, yang jelas-jelas lebih tertarik pada Rafi.
Semakin
hari, Refi semakin dekat dengan Stefani. Mereka sering ke Mall bersama, belajar
bersama dan sebagainya. Refi tak mau cerita sedikitpun tentang Stefani pada
Rafi. Refi takut, abangnya itu bisa saja merebut Stefani darinya. Dan Refi
tentu tidak mau itu terjadi.
“Ref,
sorry ya. Kayaknya kedekatan kita sampai di sini aja, deh. Sebenarnya… mmm..
Gue udah jadian sama Rafi tadi malam. Sorry banget, Ref.” Refi kaget bukan
main. Ternyata selama ini Stefani mendekatinya hanya untuk mencari informasi
tentang Rafi. Pantas saja Stef sering bertanya tentang Rafi. Refi sedih luar
biasa. Ia merasa seperti ada bongkahan batu besar yang menimpuk dadanya.
Ketakutannya selama ini ternyata benar. Rafi merebut Stefani darinya. Refi
tidak bisa terus diam. Refi tak bisa terus menerima perlakuan Rafi. “Jadi lo
jadian sama Stef? Lo gak tau apa kalau selama ini gue suka sama dia? Lo gak tau
selama ini gue deket sama dia? Lo emang jahat, ya? Teganya lo rebut sisa
kebahagiaan gue. Gue tau kok, lo emang lebih dari gue. Oh iya, lo baru diangkat
jadi Kapten Basket, ya? Terus, gimana olimpiade Fisika lo? Lo emang hebat, Raf.
Sementara gue gak lebih dari siswa terpinggir di sekolah..”
“Jadi
Stefani itu gebetan lo? Ref, gue benar-benar minta maaf. Gue gak tau lo suka
sama dia. Kalau lo mau, gue bisa putusin dia sekarang.”
“Gak
perlu, gue udah terlanjur jijik sama dia.” Ucap Refi sambil berlalu. Lalu
membanting pintu kamarnya dengan kasar. Sementara itu Rafi terduduk. Ia tak
menyangka sama sekali bahwa Refi dekat dengan Stefani. Baik Refi maupun Stefani
tak pernah bercerita tentang hubungan mereka padanya. Rafi tahu, sekarang Refi
pasti sangat kecewa. Ia ingin memutuskan Stefani sekarang juga. Tapi Ia sadar,
itu tak kan ada gunanya. Ia ingin melakukan apa saja yang dapat mengobati luka
Refi. Tapi Ia tak tahu bagaimana caranya.
Lalu
Rafi bangkit. Ia berjalan lesu menuju pintu kamar adiknya. Lalu mencoba
membukanya. Tapi gagal, ruangan itu terkunci. Tak seperti biasanya. “Ref,
maafin gue, ya? Gue tahu kok, gue salah. Gue bakal lakuin apa aja asal lo gak
marah lagi sama gue.”
Dari
dalam ruangan, Refi menutup telinganya dengan bantal. Lalu diam dan berpikir. Lakuin apa aja? Ulangnya dalam hati. Ia
langsung tersenyum penuh arti. Dan dengan cepat membuka pintu kamarnya. “Gue
mau kita tukeran. Gue mau satu minggu ini gue jadi lo. Dan lo jadi gue.”
Rafi
sontak kaget dengan syarat yang diajukan Refi. Ia tak membayangkan bagaimana
kalau itu benar terjadi. Tapi tak ada jalan lain. Ia sudah berjanji melakukan
apapun asal Refi memaafkannya. Ia harus setuju.
Dan
jadilah hari ini Rafi duduk di kursi Refi. Memakai baju Refi. Sementara Refi
sangat senang dengan keadaan ini. Dimana saat pagi Ia disambut senyuman
cewek-cewek. Dan tentu saja Stefani. Dimana Bu Ros yang selalu galak padanya,
kini tersenyum dan mengelu-elukan dirinya. Satu minggu bukanlah waktu yang
panjang. Refi akan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Nyatanya
Refi benar-benar kejam. Ia melakukan apapun yang sangat bertolakbelakang dengan
yang dilakukan Rafi selama ini. Refi nekat tidak membuat pr fisika. Mengerjai
teman sekelasnya. Mendekati perempuan lain hingga membuat Stefani marah. Dan
bermain asal-asalan saat latihan basket.
Ternyata
waktu seminggu adalah waktu yang cukup bagi Refi untuk membuat semua orang
membenci Rafi. Dan sebaliknya, Rafi yang bersikap manis malah membuat
orang-orang menyukai Refi. Memang teman-temannya merasa ada yang aneh. Tapi
mereka tak pernah berpikir sekalipun bahwa Rafi dan Refi itu bertukar posisi.
“Gak
terasa, hari ini hari terakhir gue jadi lo, ya?” Tanya Refi dengan senyum puas
di suatu sore.
“Iya,
hari terakhir lo bikin image gue jadi kacau di mata orang. Tapi gak apa-apa.
Gue rela kok. Gue bahkan rela berpura-pura bodoh selamanya asal kita nggak
bertengkar. Gue rela.” Rafi mengucapkan itu sambil menunduk. Ia sadar, pasti
akan sulit untuk melakukan itu. Tapi sesulit apapun, Rafi akan tetap
melakukannya demi Refi.
Categories
Cerpen
Langganan:
Postingan (Atom)